Resensi Film Kembang Api: 4 Orang Kopi Darat untuk Akhiri Hidup Bersama Tapi Gagal Melulu Sampai Emosi – Kembang Api adalah karya sineas Herwin Novianto yang diadaptasi dari film Jepang berjudul 3ft Ball and Soul garapan sutradara Yoshio Kato. Film ini tayang di bioskop mulai 2 Maret 2023.
Dibintangi Marsha Timothy, Ringgo Agus Rahman, Donny Damara, dan Hanggini, film Kembang Api rilisan Falcon Pictures bergerak lewat premis unik tentang empat orang yang mencoba bunuh diri.
Langit Mendung (Donny Damara), Anggrek Hitam (Ringgo Agus Rahman), Tengkorak Putih (Marsha Timothy), dan Anggun (Hanggini) adalah anggota grup WhatsApp Kembang Api.
Mereka bermufakat bertemu di sebuah gudang tak berkunci untuk bunuh diri bersama dengan meledakkan diri pakai bola kembang api. Berikut resensi film atau review film Kembang Api.
Langit Mendung
Langit Mendung membuat bola kembang api raksasa terbungkus kertas cokelat bertuliskan “urip iku urup.” Dalam bahasa Indonesia, berarti hidup itu menyinari lingkungan sekitar. Beberapa menit kemudian, Anggrek Hitam dan Tengkorak Putih datang dengan wajah kusut.
Anggun yang masih SMA terlambat 15 menit karena ada praktikum bahasa di sekolah. Mereka lantas meledakkan diri dengan bola kembang api. Anehnya, Langit Mendung balik lagi ke gudang dalam kondisi tubuh dan tulang utuh, segar bugar.
Sejurus kemudian, Anggrek Hitam dan Tengkorak Putih datang dengan wajah kusut. Anggun datang terlambat 15 menit karena ada praktikum bahasa. Ketiganya tak ingat bahwa sebelumnya pernah bertemu untuk bunuh diri. Langit Mendung menduga ini dejavu.
Setelahnya, mereka meledakkan diri lagi dengan bola kembang api. Apes. Langit Mendung kembali ke gudang dalam kondisi sehat. Anggrek Hitam datang. Ia syok mendapati diri hidup lagi. Padahal, ia ingat betul telah memencet tombol detonator lalu kembang api meledak. Apa yang terjadi?
80 Persen…
Kembang Api tak membawa penonton ke mana-mana karena hampir 80 persen film ini berisi adegan di gudang. Keempat tokoh pun pakai baju dan properti yang sama, menghadap bola kembang api raksasa.
Ajaibnya, film ini tak lantas membosankan. Rahasianya, terletak pada inteprestasi para bintang yang meyakinkan. Donny Damara sebagai yang paling tua mengambil pendekatan paling relaks.
Sebagai “dedengkot” yang mengide bunuh diri, ia santuy karena punya persiapan paling paripurna dari aspek motivasi, surat permintaan maaf kepada keluarga, hingga membaca sejumlah kemungkinan jika aksi bunuh diri ini berhasil.
Marsha dan Ringgo
Ringgo dan Marsha mengambil pendekatan hampir sama, yakni pasang wajah muram sebagai “sinyal” bahwa beban hidup mereka berat. Bedanya, ada di latar belakang. Ringgo depresi karena berkali bunuh diri tapi gagal melulu.
Marsha, meski kelam, masih punya empati untuk memahami persoalan orang-orang yang baru dikenalnya. Hanggini adalah kejutan. Ia tipikal anak Jakarta pada umumnya.
Dengan aksesn khas anak gaul Ibu Kota, sumbu pikir pendek, merasa paling berat hidupnya, dan berpedoman jalan pintas seperti mengakhiri hidup adalah solusi efektif membereskan persoalan.
Temanya Kelam
Temanya kelam. Para tokoh kehilangan harapan, memilih tak punya harapan, dan ogah melihat harapan yang sebenarnya ada namun tertutup masalah yang seolah setinggi puncak Everest.
Dengan empat ujung tombak yang depresif, bukan berarti Kembang Api jadi gelap, suram, dan lebay. Donny dan Hanggini adalah pencair suasana meski setelah penonton tahu masalah mereka sebenarnya, terasa betul beratnya beban keduanya.
Sensasi komedi ditabur dari kegagalan bunuh diri yang terjadi berkali-kali, salah ucap, gugatan terhadap aturan grup WhatsApp hingga salah satu tokoh menjadi kaum “mendang-mending” lantaran merasa masalahnyalah paling berat dan yang lain cetek.
Menertawakan Masalah
Penonton diajak menertawakan masalah layaknya ujaran orang Jawa kekinian: Kuat dilakoni, yen ora kuat ditinggal ngopi. Poin pentingnya, di balik gelak tawa melihat polah para tokoh, penonton diajak berpikir tentang banyak hal.
Pertama, siapa sih yang paling berhak mengakhiri hidup? Kedua, apa definisi dewasa dan kuat mental menghadapi persoalan? Ketiga, sudah cukupkah kita menyayangi diri sendiri dan keluarga (selama ini)? Keempat, benarkah masalah kita lebih berat dari orang lain?
Terakhir, mengapa begitu yakin bahwa masalah Anda paling berat sehingga merasa punya hak untuk bunuh diri? Memangnya, masalah Anda sudah ditimbang dan dibandingkan dengan berat masalah orang lain? Memangnya ada alat penimbang masalah hidup?
Urip Iku Urup
Setelah pertanyaan terakhir terjawab, silakan kembali ke pertanyaan awal. Inilah benih-benih perenungan yang diceritakan dengan detail dan rapi oleh Herwin Novianto. Tanpa menggurui karena sejatinya para tokoh di film ini belajar memaknai masalah, hidup, dan berempati.
Dari proses trial and error percobaan bunuh diri, penonton menginsyafi banyak hal. Herwin Novianto pernah membuai kita dengan Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Kembang Api adalah comeback Herwin yang simpel, jenaka, berdimensi sekaligus mengesankan.
Saat keluar dari bioskop, saya bertanya-tanya: bagaimana mau urup kalau yang urip malah pengin mati? Pertanyaan sederhana, nyelekit, dan menggiring kita berkaca kepada pikiran dan hati. Dengan catatan, hati dan pikiran kita harus bening. Oke?
Tinggalkan Balasan