Review Film: Ketika Berhenti di Sini, Cerita tentang Kehilangan, Perpisahan, & Perjalanan Baru – Perpisahan, kehilangan, dan kematian adalah momen yang paling sulit untuk dilupakan, at least untuk saya pribadi. Namun, sejak membaca sinopsis Ketika Berhenti di Sini yang mengangkat konsep AI, saya akhirnya memutuskan untuk menontonnya di bioskop.
Buat kamu yang masih ragu, mungkin ulasan ini bisa membantumu.
Sinopsis
Dita (Prilly Latuconsina), seorang creative designer yang sedang mencoba hidupnya kembali pasca kematian ayahnya. Ia bahkan nyaris tidak memiliki tujuan apa-apa lagi, dan memilih untuk hidup seperti robot. Makan, ke kampus, menggambar, bertemu teman, on repeat. Ya, Dita memang belum bisa menerima kematian itu karena ia dihantui rasa bersalah. Beruntung ada Ifan (Refal Hady), Untari (Lutesha), dan Awan (Sal Priadi), yang selalu menemaninya.
Hidup Dita yang flat tiba-tiba menjadi berubah sejak pertemuannya dengan Edi (Bryan Domani). As expected, keduanya saling jatuh cinta, Dita pun kembali menemukan kebahagiaanya.
Empat tahun berjalan, hubungan mereka ternyata semakin renggang. Nahasnya, saat sedang bertengkar hebat, Edi meninggal karena sebuah kecelakaan. Dita lagi-lagi harus menghadapi trauma akan kematian untuk kedua kalinya.
As time goes by, Dita mendapatkan sebuah kacamata dengan teknologi AI, di mana siapa pun yang memakainya akan melihat Edi sebagai virtual assistant layaknya manusia biasa. Kado ini ternyata sudah Edi persiapkan jauh sebelum kepergiannya.
Dita yang sudah bisa berdamai, tiba-tiba menjadi hilang kendali karena merasa Edi kembali hadir di hidupnya, meskipun hanya sebatas AI. Ia semakin tidak bisa membedakan antara kehidupan nyata dan virtual.
Bagaimana nasib Dita? Apakah ia bisa move on dari kematian Edi?
Filosofi kehidupan manusia yang searah dengan mata angin
Film Ketika Berhenti di Sini dibuka dengan narasi menarik tentang filosofi mandala, yang juga jadi salah satu alasan Dita menekuni bidang design. Tak hanya sebuah motif lingkaran, mandala memiliki filosofi yang lebih kompleks dan dalam. Mandala kerap dianggap sebagai alam semesta dengan titik pusat yang mewakili perpaduan harmonis antara diri sendiri dengan lingkungan.
Empat titik mandala yang dijelaskan di film ini menggambarkan empat fase kehidupan Dita. Mulai dari Utara yang penuh dengan keserakahan, Barat yang penuh cinta, Selatan yang penuh amarah dan luka, lalu Timur yang jadi titik terakhir penuh kedamaian.
Penggunaan filosofi mandala ini menjadi poin menarik dan great comeback untuk Umay Shahab sebagai sutradara. Mengingat film pertamanya yang tidak meninggalkan kesan apa pun untuk saya.
Pendapat saya
Cara Umay membingkai perasaan kehilangan untuk memulai perjalanan baru lewat teka-teki dari Edi untuk Dita terasa apik dan rapi. Chemistry Prilly dan Bryan pun patut diapresiasi. Terasa luwas, natural, dan apa adanya. Oh iya, shout out untuk akting Prilly yang sangat totalitas, terutama pada adegan menangis.
Tak mudah untuk seseorang akting menangis, apalagi di film ini Prilly diceritakan memiliki trauma sangat mendalam. Mulai dari gesture gemetar, teriak, depresif, you did great, Prilly!
Konsep AI yang menjadi highlight utama pun terlihat matang. Tidak sekadar gimmick saja. Beberapa detail terkait AI cukup terlihat believable dan relevan dengan zaman sekarang.
Poin menarik lainnya adalah pemilihan soundtrack yang ciamik! Saya bahkan auto cari daftar playlist-nya.
Sayangnya, di 30 menit terakhir, cerita film ini terasa melemah. Emosi dan tense yang sudah dibangun kuat sejak awal perlahan mulai runtuh. Duo combo, Untari dan Awan, terasa hanya tempelan di film ini, padahal kehadiran mereka menjadi nyawa penting. Refal Hady sebagai Ifan, sahabat sekaligus kekasih Dita, pun somehow terasa hambar.
Saya juga merasa screentime Cuti Mini sebagai ibu Dita dan Widyawati sebagai oma Edi masih bisa ditambah untuk mengembalikan emosi yang sempat hilang.