Melalui sosok boneka “Barbie” keluaran Mattel, Inc.—mainan populer anak-anak perkotaan dengan berbagai makna dan ingatan yang kadung melekat erat—Greta Gerwig mengangkat isu kesetaraan perempuan dan pria dengan tenang, senang, dan cemerlang dalam filmnya.
Review Film Barbie (2023): Mengkhayalkan Kenyataan – Ketekunan Gerwig akan isu perempuan setidaknya telah kita dapatkan pada sekian petikan wawancaranya di berbagai media massa dan di dua filmnya: Lady Bird (2017) dan Little Woman (2019)—yang hadir pada nuansa sebuah gerakan kolektif perempuan pada dunia sinema. Pada kedua film, terdapat tokoh perempuan yang punya nyali dan sadar bahwa antara perempuan dan pria patut setara—dengan suara yang lantang dan bulat.
Adapun pada film ini, Gerwig—serta Noah Baumbach, kekasihnya—meracik cerita dan penokohan yang berbeda dengan film-film sebelumnya. Kali ini, Gerwig memainkan sosok boneka Barbie yang dianggap telah lama melanggengkan industrialisasi, konsumerisme, dan sensualitas. Oleh sebab itu, penikmat film serta kritikus, terangsang untuk meraba-raba gaya penyajiaan dan isu utama yang akan dibawa Gerwig pada film teranyarnya ini.
Bersama film terbaru Christopher Nolan, Oppenheimer (2023), Barbie pun menjadi film yang amat ditunggu pada pertengahan tahun 2023 ini. Dalam film ini, para bintang turut ambil bagian: Margot Robbie, Ryan Gosling, Will Ferrell, hingga Dua Lipa. Dari sisi publikasi dan kampanye, film ini pun penen antusias publik, termasuk di dalam negeri—meski Barbie bukan film yang berkategori ramah untuk semua umur.
Kesetaraan yang Menyata
Digambarkan, jagat Barbie—sebuah dunia penuh warna, utamanya merah muda; tempat yang takmemuat sedikit pun nestapa—merupakan lingkungan yang ideal bagi para perempuan: kebahagiaan yang senantiasa bersarang di dada dan kesempurnaan fisik yang takpernah menghilang. Perempuan pun menjadi pusat di jagad ini—tanpa perlu bergantung pada para boneka pria—hampir semuanya bernama Ken dan satu Allan (Michael Cera). Bahkan, para Ken digambarkan tidak punya kuasa ataupun kendali untuk memaksa.
Baca Juga : https://nymeriatv.com/review-film-barbie-2023-mengkhayalkan-kenyataan/
Namun, secara jitu, makna tersebut langsung dipatahkan Gerwig dengan adegan kesadaran eksitensial salah seorang Barbie yang menjadi pusat kisah—serupa Ken, Barbie bukan nama satu entitas saja, melainkan juga disematkan pada semua boneka, misalnya Barbie jaksa, Barbie astronout, Barbie perempuan karier, Barbie penyanyi, Barbie presiden, serta lainnya. Di antara berjuta rupa Barbie, seorang Barbie yang jelita (Robbie) tetiba amat takut akan datangnya kematian—seketika itu, ia pun tidak lagi menjadi Barbie dari negeri dongeng.
Dengan kesadaran tersebut, si Barbie akhirnya menjadi “setengah manusia”, tetapi lengkap dengan pelbagai masalah. Tersibaknya dunia nyata juga makin membuat si Barbie terpukul dan terheran-heran— serupa makna literal dari ungkapan “pusing pala Barbie”. Utamanya, kokohnya budaya patriarki—terma yang baru ia dan Ken (Gosling) jelang di dunia nyata—meluluhlantahkan dunia ideal yang selama ini Barbie tersebut rasakan di jagat Barbie. Di sisi lain, tokoh Ken—boneka pria—merasa bahwa ada peluang mengadopsi ide tersebut ke dunia Barbie yang didominasi perempuan.
Sementara itu, terombang-ambingnya si Barbie juga memberikan pemaknaan baru bahwa ada versi Barbie yang lain: Barbie yang dapat stres, kosong harapan, dan tidak harus bahagia. Pun si Barbie, seorang perempuan, tidak harus mengikuti makna yang kuat di masyarakat akan sosok yang ideal, baik fisik maupun sifat yang dimilikinya. Sayangnya, sosok Barbie ini tidak pernah ada di etalase toko manapun.
Melalui konflik tersebut, Barbie dan Ken pun “dipreteli” melalui gugatan akan pandangan gender yang langgeng di masyarakat: apa yang pantas dan tidak pantas. Dalam hal ini, Greta Gerwig tidak mengupasnya dengan kasar dan segera, justru ia mengemasnya dengan gemas, sabar, dan menarik. Sajian tembang dan tarian pada beberapa bagian juga menyihir penonton dan menghidupkan kisah.
Sayangnya, Gerwig tidak memberikan reorientasi yang tegas akan konflik film ini—meski ia tidak harus melakukannya. Ia mengambil jalan tengah yang klise: hadirnya kesetaraan di dunia nyata serta dunia Barbie, lalu membiarkan kita tinggal pada angan-angan tersebut. Ia pun menutup film dengan adegan yang multitafsir—yang bisa saja menjadi pemantik Barbie 2—yang menarik untuk dinantikan sebab tawaran isu yang lebih segar.
Akhirnya, Gerwig cukup mampu melunasi ekspektasi publik akan kemenarikan Barbie (2023). Melalui karya ternyarnya, ia berhasil menyodorkan isu yang relevan dengan racikan sajian yang mengasyikkan dan mengesankan. Jagat Barbie dan Ken tentu dapat dimasuki secara lengkap genap apabila disaksikan di layar lebar.